Selamat Datang di KUA Sungai Raya, Kami Melayani ANDA dengan Supel dan Simpel, Nikah di KUA Gratis, Nikah di Luar Kantor atau Luar Jam Kerja Rp.600 ribu yang disetor langsung ke Bank

Kamis, 25 Juni 2015

Puasa Penjaga Pribadi yang ‘Terpandang’ dan ‘Terhormat’

Sekitar tujuh tahun yang lalu, ketika hendak menikah, saya mendatangi guru saya untuk meminta nasihat tentang pernikahan.
Sebagai seorang laki-laki, ada sejumlah kebimbangan dalam hati saya. Di satu sisi, saya ingin segera menikah karena saya merasa sudah menemukan ‘jodoh’ saya. Di sisi lain, saya masih merasa belum mampu menjalani pernikahan tersebut—terkait kesiapan mental, kesiapan batin, terlebih kesiapan materi karena barangkali kelak saya yang akan memegang tanggung jawab finansial lebih besar dalam rumah tangga.
“Kalau kamu belum mampu menikah, berpuasalah!” Kalimat itulah yang pertama kali diucapkan guru saya setelah saya menceritakan semuanya. Dingin dan datar.
Rasanya saya ingin bertanya, apakah puasa akan menyelesaikan masalah-masalah yang saya keluhkan? Apakah puasa akan membuat saya siap secara fisik, mental, batin, bahkan finansial? Namun, saya tak berani mempertanyakan semua itu kepada guru saya, hingga saya menanyakan hal lainnya—
“Saya mengerti tentang bahwa kita harus menahan diri, Kiai, menjaga pandangan dan kehormatan,” ujar saya, berusaha memberanikan diri, “Tapi saya ingin menikah bukan karena saya tidak bisa menahan nafsu seksual saya…”
Guru saya mendelik, “Kamu belum siap untuk menikah, Nak,” ujar guru saya, “Maka berpuasalah!”
Ada yang berontak dalam diri saya. “Ini soal lain, Kiai. Lebih ke soal bahwa saya khawatir saya belum siap membimbing istri saya atau menafkahinya secara materi. Bukan tentang hasrat seksual yang tak bisa saya tahan. Mengapa saya harus berpuasa juga?”
“Jangan remehkan perkataan nabimu!” Kata guru saya lagi, kali ini dengan suara agak meninggi. Saya tahu nasihat itu beliau ambil dari hadits Nabi. Tapi, saya bukan sedang ingin meremehkannya. “Berpuasalah!” Guru saya tetap pada perkataannya.
Saya tak ingin mendebat lagi. Maka saya menjalankan nasihatnya.
Bulan demi bulan, berganti tahun, saya tak kunjung menemukan solusi dari kecemasan saya selama ini. Niat menikah saya justru makin kendur karena kian tak yakin apakah saya siap menjadi imam untuk istri saya, apakah saya siap bertanggungjawab pada seluruh aspek kehidupan keluarga saya nanti?
Maka saya mendatangi guru saya lagi.
“Saya sudah berpuasa, Kiai,” ujar saya, “Tapi tak ada perubahan!”
Guru saya menatap mata saya, “Perbaiki kualitas puasamu,” ujarnya, “Kamu hanya berpuasa untuk menahan nafsu makan dan nafsu seksualmu!”
Deg! Tiba-tiba saya menyadari bahwa selama ini saya hanya menjalani puasa yang kekanak-kanakan tanpa benar-benar menghayati apa sesungguhnya pelajaran di balik semua itu.
“Jadi, apa yang harus saya lakukan dengan perintah itu, Kiai?”
“Berpuasalah seperti kamu menjalani puasa Ramadhan,” jawab guru saya, “Berpuasalah seperti seseorang yang kamu memperbaiki kualitas-kualitas dirimu selama menjalani puasa itu. Berpuasalah seperti seseorang yang ingin mengubah dirinya dari seekor ulat menjadi kupu-kupu.”
Saya terdiam. Tak bisa berkata apa-apa selain menyadari bahwa selama ini saya berpuasa tetapi tak memperbaiki kualitas diri saya.
“Apa yang perlu kamu lakukan untuk kuat berpuasa, Nak?” Tanya guru saya.
“Saya sahur, Kiai,” jawab saya.
Guru saya mengangguk-angguk, “Sahur mengajarimu tentang persiapan dan perencanaan. Mungkin kamu akan kuat berpuasa seharian tanpa sahur. Tetapi dengan bangun sahur, kamu melatih dirimu menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Kamu mempersiapkan dirimu untuk menjalani puasa sebaik mungkin. Kamu menghitung apa yang perlu kamu makan saat sahur sehingga kamu kuat menjalani aktivitas terberat sekalipun saat berpuasa. Jika sahurmu baik, maka kamu akan siap melakukan yang terbaik dalam puasamu.”
Saya mendengarkan perkataan guru saya dengan seksama, rasanya ingin mencatat semuanya—
“Puasa bukan hanya melatihmu tentang kesabaran. Ia juga melatihmu tentang kejujuran dan rasa hormat. Nilai-nilai itulah yang penting kau miliki saat berumah tangga. Apa gunanya berpuasa tetapi kamu tak menjalani puasa itu? Apa gunanya menahan haus dan lapar tetapi kamu hanya tidur seharian? Itulah mengapa semua aktivitas yang kau lakukan selama puasa memiliki nilai yang berlipat ganda, jika kau menyadari betapa penting semuanya untuk meningkatkan kualitas dirimu sebagai seorang manusia.”
Saya tak bisa berkata-kata lagi.
“Kelak jika sudah saatnya, kau akan berbuka. Itu bukan tentang melampiaskan nafsumu. Bukan tentang membayar semua lapar yang kau tahan seharian. Buka puasa mengajari kita dua hal. Pertama, ia adalah tentang menyadari bahwa diri kita punya batas-batasnya. Kita tak bisa terus-menerus menahan lapar dan haus, kan? Maka kita perlu makan. Batas itu mengajari kita sikap mawas diri. Kedua, buka puasa juga mengajari kita tentang merayakan kebahagiaan. Percuma saja kualitas dirimu meningkat selama puasa jika kamu tak memberi ruang pada dirimu sendiri untuk berbahagia. Dua hal itu kelak penting untukmu saat kau berumah tangga.”
Saya tertegun. Ada yang tertahan di tenggorokan. “Rupanya saya harus memperbaiki puasa saya, Kiai. Agar saya siap.”
Guru saya tersenyum. “Kau kira anjuran berpuasa saat kau belum siap menikah tak berhubungan dengan semua aspek yang selama ini kau keluhkan, termasuk soal kemapanan hartamu? Nak, cobalah terapkan prinsip sahur-puas-buka dalam usahamu seperti yang sudah aku jelaskan tadi. Jika tak ada perubahan apa-apa dalam hidupmu, baru kau bisa mempertanyakan perkataan nabimu!”
Seketika, ada yang bergemuruh dalam hati dan pikiran saya. Jika saya ingin siap menikah, saya harus memperbaiki semuanya. Saya baru menyadari bahwa puasa memang akan menjaga ‘pandangan’ dan ‘kehormatan’ saya, seperti sabda Nabi. Tetapi jika saya menggali nasihat itu lebih dalam lagi, puasa akan menjadi penjaga yang membuat saya
menjadi pribadi yang ‘terpandang’ dan ‘terhormat’.
‘Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu untuk menikah, maka hendaknya ia menikah, karena menikah dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kehormatan. Barangsiapa yang belum mampu menikah, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa adalah penjaga baginya.’ (HR Bukhari-Muslim)
Melbourne, 9 Ramadhan 1436 H
FAHD PAHDEPIE

Selasa, 28 April 2015

Kuserahkan Putriku Padamu (Renungan untuk Para Suami)

Ilustrasi. (Foto : almuflihun.com)
Ilustrasi. (Foto : almuflihun.com)
Akhwatmuslimah.com – Saat pertama kali putri kecil kami terlahir di dunia, dia menjadi simbol kebahagiaan bagi kami, orang tuanya. Bahagia yang tiada tara kami rasakan karenanya. Kami menjaganya siang dan malam, sampai kami melupakan keadaan diri sendiri. Kami sadar, memang seharusnyalah seperti itu kewajiban orang tua.
Kami besarkan dia dengan segenap jiwa dan raga. Kami didik dengan semaksimal ilmu yang kami punya. Dan kami jaga dia dengan penuh kehati-hatian.
Dan waktupun berlalu…
Dia kini telah menjadi sesosok gadis yang cantik. Betapa bangga kami memilikinya. Kami berpikir, betapa cepat waktu berlalu, dan terbersit dalam hati kami untuk tetap menahannnya disini. Bukan bermaksud meletakkan ego kami atas hidupnya, Namun sebagai orang tua, siapa yang dapat berpisah dari anaknya. Putri kesayangannnya.
Tapi,…
Hari ini, akhirnya datang juga. Saat dimana kami harus melihatnya terbalut dalam pakaian cantik, yaitu gaun pengantinnya. Gadis kecil kami telah tumbuh dewasa. Dan sesudah ijab kabul ini, kau lah kini yang menjadi penjaganya. Menggantikan kami. Mari ikatkan tanganmu kepadanya.
Waktu akhirnya memaksa kami berpisah dengannya. Walaupun kau adalah orang yang asing dan baru sebentar dikenalnya, sedangkan kami adalah orang tuanya yang telah mengorbankan semua yang kami punya untuknya. Namun, tak ada sama sekali kemarahan kami atas dirimu, menantuku. Namun ijinkan kami sedikit meluapkan kesedihan atas seorang putri kami yang harus jauh meninggalkan kami, karena harus mengikutimu. Kamipun tak akan protes kepadamu, karena mulai hari ini, dia harus mengutamakan kau diatas kami.
Tolong, jangan beratkan hatinya, karena sebenarnya pun hatinya telah berat untuk meninggalkan kami dan hanya mengabdi kepadamu. Seperti hal nya anak yang ingin berbakti kepada orang tua, pun demikian dengannya. Kami tidak keberatan apabila harus sendiri, tanpa ada gadis kecil kami dulu yang selalu menemani dan menolong kami dimasa tua.
Kami menikahkanmu dengan anak gadis kami dan memberikan kepadamu dengan cuma- cuma, kami hanya memohon untuk dia selalu kau jaga dan kau bahagiakan.
Jangan sakiti hatinya, karena hal itu berarti pula akan menyakiti kami. Dia kami besarkan dengan segenap jiwa raga, untuk menjadi penopang harapan kami dimasa depan, untuk mengangkat kehormatan dan derajat kami. Namun kini kami harus menitipkannya kepadamu. Kami tidaklah keberatan, karena berarti terjagalah kehormatan putri kami.
Jika kau tak berkenan atas kekurangannya, ingatkanlah dia dengan cara yang baik, mohon jangan sakiti dia, sekali lagi, jangan sakiti dia.
Suatu saat dia menangis karena merasa kasihan dengan kami yang mulai menua, namun harus sendiri berdua disini, tanpa ada kehadirannya lagi. Tahukah engkau wahai menantuku, bahwa kau pun memiliki orang tua, pun dengan istrimu ini. Disaat kau perintahkan dia untuk menemani orang tuamu disana, pernahkah kau berpikir betapa luasnya hati istrimu? Dia mengorbankan egonya sendiri untuk tetap berada disamping orang tuamu, menjaga dan merawat mereka, sedang kami tahu betapa sedih dia karena dengan itu berarti orang tuanya sendiri, harus sendiri. Sama sekali tiada keluh kesah darinya tentang semua itu, karena semua adalah untuk menepati kewajibannya kepada Allah.
Dia mementingkan dirimu dan hanya bisa mengirim doa kepada kami dari jauh. Jujur, sedih hati kami saat jauh darinya. Namun apalah daya kami, memang sudah masa seharusnya seperti itu, kau lebih berhak atasnya dari pada kami, orang tuanya sendiri.
Maka hargailah dia yang telah dengan rela mengabdi kepadamu. Maka hiburlah dia yang telah membuat keputusan yang sedemikian sulit. Maka sayangilah dia atas semua pengorbanannya yang hanya demi dirimu. Begitulah cantiknya putri kami, Semoga kau mengetahui betapa berharganya istrimu itu, jika kau menyadari. [Akhwatmuslimah]

Jumat, 20 Maret 2015

Hikmah Seleksi Menantu ala Khalifah Umar bin Khattab R.A.

Pada suatu malam Khalifah Umar bin Khattab melakukan “blusukan” dengan ditemani ajudannya. Di tengah-tengah blusukan itu, Umar pun merasakan lelah sehingga memutuskan untuk beristirahat.

Saat Khalifah dan ajudannya beristirahat, ia tidak sengaja mendengar percakapan antara ibu dan anak gadisnya.

“Wahai anakku, oploslah susu yang kamu perah tadi dengan air,” perintah seorang ibu.

Lalu, si gadis menolak perintah ibunya dengan mengatakan, “Apakah Ibu tidak pernah mendengar perintah Amirul Mukminin, Umar bin Khattab kepada rakyatnya untuk tidak menjual susu yang dicampur air?”

“Iya, Ibu pernah mendengar perintah tersebut,” jawab sang ibu.

Kemudian ibunya berkilah, “Mana Khalifah? Apakah dia melihat kita? Ayolah anakku laksanakan perintah ibumu ini, kan cuma sedikit kok ngoplosnya!”

“Dia tidak melihat kita, tapi Rabb-nya melihat kita dan demi Allah saya tidak akan melakukan perbuatan yang dilarang Allah dan melanggar seruan Khalifah Umar untuk selama-lamanya” Gadis tersebut menolak dengan yakin dan tegas.

Setelah mendengar percakapan gadis dengan ibunya tersebut, Umar dan ajudannya langsung pulang. Sesampai di rumah, Umar bercerita tentang pengamalaman blusukan tadi malam dan meminta putranya, ‘Ashim bin Umar untuk menikahi gadis yang shalihah tersebut.

Dari pernikahan ‘Ashim dengan gadis tersebut, Umar dikaruniai cucu permpuan bernama Laila atau yang biasa disebut Ummu Ashim dan dari Ummu Ashim telahir Umar bin Abdul Aziz khalifah kelima yang terkenal sangat adil, zuhud, dan bijaksana. (Ahmad Rosyidi)