Di zaman Bani Abbasiyah, ada sebuah kisah rindu yang terlarang. Yang
lebih bersahaja dari kisah fiksi Zainuddin dan Hayati dalam Tenggelamnya
kapal Van der Wijk. Yang lebih bermartabat daripada kisah picisan Romeo
dan Julia..
Kisah ini terjadi di Baghdad, tepatnya di sebuah wilayah bernama Nakha', tempat seorang ulama besar Ibrahim An Nakha'i rahimahullah berasal.
Tidak disebutkan siapa nama pemuda ini, dia hanya dikenal dengan sebutan Pemuda Tampan dan Sholeh dari Nakha'. Ketampanan dan kesholehannya menjadi buah bibir para penduduk Nakha'.
Suatu hari dia berpapasan dengan seorang gadis yang juga jelita. Pandangan mata mereka bertemu dan panah asmara pun saling berbalas menancap dalam hati mereka berdua.
Malam-malam sang pemuda diisi dengan khayalan tentang tatapan gadis jelita itu. Begitulah cinta, deritanya tiada akhir. Sang gadis pun di dalam biliknya mengalami hal serupa. Bayangan wajah pemuda tampan itu menjadi pengantar tidurnya..
Akhirnya sang pemuda memberanikan diri untuk bertemu dengan orangtua sang wanita. Dia ingin membuktikan cintanya dalam sebuah Mitsaqan Ghalitsa. Dia ingin mengakhiri penderitaan malamnya dengan sebuah lafadz agung, "Aku terima nikahnya."
Tapi ternyata Ayah sang wanita menjawab pinangan si pemuda, "Maafkan kami wahai ananda. Anak kami akan kami nikahkan dengan sepupunya.."
Pulanglah sang pemuda ke rumahnya dengan hati yang meranggas. Sementara sang gadis yang mendengar percakapan itu dari balik biliknya pun tak kalah meranggasnya.
Karena cintanya yang semakin menggebu, sang gadis menulis surat kepada sang pemuda :
"Kekasihku.. Tunggulah aku di sudut tempat ini, bawalah aku kemana kau suka.. Aku rela mengarungi sulitnya hidup ini bersamamu."
Setelah surat itu diterima sang pemuda, pemuda itu menulis balasannya di halaman belakang surat tersebut ;
"Innii akhofullah liyaumin adzim." Sungguh aku takut dengan adzab Allah di hari pembalasan..
Setelah membaca balasan surat tersebut, tersadarlah sang gadis bahwa mungkin cintanya tak akan terwujud. Ia kemudian melarutkan diri dalam ibadah kepada Allah untuk melupakan cintanya.. Di siang hari dia puasa, di malam hari dia bermunajat. Sementara api cintanya tak jua padam kepada sang pemuda, tapi dia terus melawannya. Karena ketaatan kepada Allah, harus diatas cinta kepada apapun selain-Nya.
Sang gadis akhirnya jatuh sakit, tubuhnya kurus kering melawan cinta. Sementara sang pemuda pun demikian keadaannya. Dia bertarung melawan rindu. Rindu yang terlarang. Akhirnya sang gadis pun meninggal karena sakitnya setelah berjuang melawan cinta.
Sepeninggal gadis tersebut, sang pemuda tiap hari mengunjungi makam kekasihnya. Suatu hari dia tertidur di pusara kekasihnya, dan bermimpi bertemu dengan kekasihnya. Dia tumpahkan kerinduannya dan bertanya,
"Bagaimana keadaanmu disana wahai kekasihku?"
Sang gadis menjawab, "Alhamdulillah, Tuhanku memberikan aku balasan yg sangat baik.."
Pemuda berujar lagi, "Bolehkah aku menemui engkau disana?"
Sang gadis menjawab, "Aku menunggumu wahai kekasihku.. Di tempat ini engkau bisa menjadi suamiku selamanya.."
Tak lama dari kejadian itu sang pemuda pun meninggal. Dan Allah tak pernah menyia-nyiakan amalan hamba-hamba-Nya. Dan kita pun sangat yakin dengan sabda rasul-Nya yang mulia,
"Siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang jauh lebih baik.."
Kisah ini terjadi di Baghdad, tepatnya di sebuah wilayah bernama Nakha', tempat seorang ulama besar Ibrahim An Nakha'i rahimahullah berasal.
Tidak disebutkan siapa nama pemuda ini, dia hanya dikenal dengan sebutan Pemuda Tampan dan Sholeh dari Nakha'. Ketampanan dan kesholehannya menjadi buah bibir para penduduk Nakha'.
Suatu hari dia berpapasan dengan seorang gadis yang juga jelita. Pandangan mata mereka bertemu dan panah asmara pun saling berbalas menancap dalam hati mereka berdua.
Malam-malam sang pemuda diisi dengan khayalan tentang tatapan gadis jelita itu. Begitulah cinta, deritanya tiada akhir. Sang gadis pun di dalam biliknya mengalami hal serupa. Bayangan wajah pemuda tampan itu menjadi pengantar tidurnya..
Akhirnya sang pemuda memberanikan diri untuk bertemu dengan orangtua sang wanita. Dia ingin membuktikan cintanya dalam sebuah Mitsaqan Ghalitsa. Dia ingin mengakhiri penderitaan malamnya dengan sebuah lafadz agung, "Aku terima nikahnya."
Tapi ternyata Ayah sang wanita menjawab pinangan si pemuda, "Maafkan kami wahai ananda. Anak kami akan kami nikahkan dengan sepupunya.."
Pulanglah sang pemuda ke rumahnya dengan hati yang meranggas. Sementara sang gadis yang mendengar percakapan itu dari balik biliknya pun tak kalah meranggasnya.
Karena cintanya yang semakin menggebu, sang gadis menulis surat kepada sang pemuda :
"Kekasihku.. Tunggulah aku di sudut tempat ini, bawalah aku kemana kau suka.. Aku rela mengarungi sulitnya hidup ini bersamamu."
Setelah surat itu diterima sang pemuda, pemuda itu menulis balasannya di halaman belakang surat tersebut ;
"Innii akhofullah liyaumin adzim." Sungguh aku takut dengan adzab Allah di hari pembalasan..
Setelah membaca balasan surat tersebut, tersadarlah sang gadis bahwa mungkin cintanya tak akan terwujud. Ia kemudian melarutkan diri dalam ibadah kepada Allah untuk melupakan cintanya.. Di siang hari dia puasa, di malam hari dia bermunajat. Sementara api cintanya tak jua padam kepada sang pemuda, tapi dia terus melawannya. Karena ketaatan kepada Allah, harus diatas cinta kepada apapun selain-Nya.
Sang gadis akhirnya jatuh sakit, tubuhnya kurus kering melawan cinta. Sementara sang pemuda pun demikian keadaannya. Dia bertarung melawan rindu. Rindu yang terlarang. Akhirnya sang gadis pun meninggal karena sakitnya setelah berjuang melawan cinta.
Sepeninggal gadis tersebut, sang pemuda tiap hari mengunjungi makam kekasihnya. Suatu hari dia tertidur di pusara kekasihnya, dan bermimpi bertemu dengan kekasihnya. Dia tumpahkan kerinduannya dan bertanya,
"Bagaimana keadaanmu disana wahai kekasihku?"
Sang gadis menjawab, "Alhamdulillah, Tuhanku memberikan aku balasan yg sangat baik.."
Pemuda berujar lagi, "Bolehkah aku menemui engkau disana?"
Sang gadis menjawab, "Aku menunggumu wahai kekasihku.. Di tempat ini engkau bisa menjadi suamiku selamanya.."
Tak lama dari kejadian itu sang pemuda pun meninggal. Dan Allah tak pernah menyia-nyiakan amalan hamba-hamba-Nya. Dan kita pun sangat yakin dengan sabda rasul-Nya yang mulia,
"Siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang jauh lebih baik.."
"Karena menanti dalam ketaatan adalah rindu yang bersahaja.."
Source : FA
By. FP @SemilyarKenangan