Sekitar tujuh tahun yang lalu, ketika hendak menikah, saya mendatangi guru saya untuk meminta nasihat tentang pernikahan.
Sebagai seorang
laki-laki, ada sejumlah kebimbangan dalam hati saya. Di satu sisi, saya
ingin segera menikah karena saya merasa sudah menemukan ‘jodoh’ saya.
Di sisi lain, saya masih merasa belum mampu menjalani pernikahan
tersebut—terkait kesiapan mental, kesiapan batin, terlebih kesiapan
materi karena barangkali kelak saya yang akan memegang tanggung jawab
finansial lebih besar dalam rumah tangga.
“Kalau kamu belum mampu menikah, berpuasalah!” Kalimat itulah yang
pertama kali diucapkan guru saya setelah saya menceritakan semuanya.
Dingin dan datar.
Rasanya saya ingin bertanya, apakah puasa akan
menyelesaikan masalah-masalah yang saya keluhkan? Apakah puasa akan
membuat saya siap secara fisik, mental, batin, bahkan finansial? Namun,
saya tak berani mempertanyakan semua itu kepada guru saya, hingga saya
menanyakan hal lainnya—
“Saya mengerti tentang bahwa kita harus
menahan diri, Kiai, menjaga pandangan dan kehormatan,” ujar saya,
berusaha memberanikan diri, “Tapi saya ingin menikah bukan karena saya
tidak bisa menahan nafsu seksual saya…”
Guru saya mendelik, “Kamu belum siap untuk menikah, Nak,” ujar guru saya, “Maka berpuasalah!”
Ada yang berontak dalam diri saya. “Ini soal lain, Kiai. Lebih ke soal
bahwa saya khawatir saya belum siap membimbing istri saya atau
menafkahinya secara materi. Bukan tentang hasrat seksual yang tak bisa
saya tahan. Mengapa saya harus berpuasa juga?”
“Jangan remehkan
perkataan nabimu!” Kata guru saya lagi, kali ini dengan suara agak
meninggi. Saya tahu nasihat itu beliau ambil dari hadits Nabi. Tapi,
saya bukan sedang ingin meremehkannya. “Berpuasalah!” Guru saya tetap
pada perkataannya.
Saya tak ingin mendebat lagi. Maka saya menjalankan nasihatnya.
Bulan demi bulan, berganti tahun, saya tak kunjung menemukan solusi
dari kecemasan saya selama ini. Niat menikah saya justru makin kendur
karena kian tak yakin apakah saya siap menjadi imam untuk istri saya,
apakah saya siap bertanggungjawab pada seluruh aspek kehidupan keluarga
saya nanti?
Maka saya mendatangi guru saya lagi.
“Saya sudah berpuasa, Kiai,” ujar saya, “Tapi tak ada perubahan!”
Guru saya menatap mata saya, “Perbaiki kualitas puasamu,” ujarnya,
“Kamu hanya berpuasa untuk menahan nafsu makan dan nafsu seksualmu!”
Deg! Tiba-tiba saya menyadari bahwa selama ini saya hanya menjalani
puasa yang kekanak-kanakan tanpa benar-benar menghayati apa sesungguhnya
pelajaran di balik semua itu.
“Jadi, apa yang harus saya lakukan dengan perintah itu, Kiai?”
“Berpuasalah seperti kamu menjalani puasa Ramadhan,” jawab guru saya,
“Berpuasalah seperti seseorang yang kamu memperbaiki kualitas-kualitas
dirimu selama menjalani puasa itu. Berpuasalah seperti seseorang yang
ingin mengubah dirinya dari seekor ulat menjadi kupu-kupu.”
Saya
terdiam. Tak bisa berkata apa-apa selain menyadari bahwa selama ini saya
berpuasa tetapi tak memperbaiki kualitas diri saya.
“Apa yang perlu kamu lakukan untuk kuat berpuasa, Nak?” Tanya guru saya.
“Saya sahur, Kiai,” jawab saya.
Guru saya mengangguk-angguk, “Sahur mengajarimu tentang persiapan dan
perencanaan. Mungkin kamu akan kuat berpuasa seharian tanpa sahur.
Tetapi dengan bangun sahur, kamu melatih dirimu menjadi pribadi yang
bertanggung jawab. Kamu mempersiapkan dirimu untuk menjalani puasa
sebaik mungkin. Kamu menghitung apa yang perlu kamu makan saat sahur
sehingga kamu kuat menjalani aktivitas terberat sekalipun saat berpuasa.
Jika sahurmu baik, maka kamu akan siap melakukan yang terbaik dalam
puasamu.”
Saya mendengarkan perkataan guru saya dengan seksama, rasanya ingin mencatat semuanya—
“Puasa bukan hanya melatihmu tentang kesabaran. Ia juga melatihmu
tentang kejujuran dan rasa hormat. Nilai-nilai itulah yang penting kau
miliki saat berumah tangga. Apa gunanya berpuasa tetapi kamu tak
menjalani puasa itu? Apa gunanya menahan haus dan lapar tetapi kamu
hanya tidur seharian? Itulah mengapa semua aktivitas yang kau lakukan
selama puasa memiliki nilai yang berlipat ganda, jika kau menyadari
betapa penting semuanya untuk meningkatkan kualitas dirimu sebagai
seorang manusia.”
Saya tak bisa berkata-kata lagi.
“Kelak
jika sudah saatnya, kau akan berbuka. Itu bukan tentang melampiaskan
nafsumu. Bukan tentang membayar semua lapar yang kau tahan seharian.
Buka puasa mengajari kita dua hal. Pertama, ia adalah tentang menyadari
bahwa diri kita punya batas-batasnya. Kita tak bisa terus-menerus
menahan lapar dan haus, kan? Maka kita perlu makan. Batas itu mengajari
kita sikap mawas diri. Kedua, buka puasa juga mengajari kita tentang
merayakan kebahagiaan. Percuma saja kualitas dirimu meningkat selama
puasa jika kamu tak memberi ruang pada dirimu sendiri untuk berbahagia.
Dua hal itu kelak penting untukmu saat kau berumah tangga.”
Saya tertegun. Ada yang tertahan di tenggorokan. “Rupanya saya harus memperbaiki puasa saya, Kiai. Agar saya siap.”
Guru saya tersenyum. “Kau kira anjuran berpuasa saat kau belum siap
menikah tak berhubungan dengan semua aspek yang selama ini kau keluhkan,
termasuk soal kemapanan hartamu? Nak, cobalah terapkan prinsip
sahur-puas-buka dalam usahamu seperti yang sudah aku jelaskan tadi. Jika
tak ada perubahan apa-apa dalam hidupmu, baru kau bisa mempertanyakan
perkataan nabimu!”
Seketika, ada yang bergemuruh dalam hati dan
pikiran saya. Jika saya ingin siap menikah, saya harus memperbaiki
semuanya. Saya baru menyadari bahwa puasa memang akan menjaga
‘pandangan’ dan ‘kehormatan’ saya, seperti sabda Nabi. Tetapi jika saya
menggali nasihat itu lebih dalam lagi, puasa akan menjadi penjaga yang
membuat saya
menjadi pribadi yang ‘terpandang’ dan ‘terhormat’.
‘Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu
untuk menikah, maka hendaknya ia menikah, karena menikah dapat
menundukkan pandangan dan lebih menjaga kehormatan. Barangsiapa yang
belum mampu menikah, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa adalah
penjaga baginya.’ (HR Bukhari-Muslim)
Melbourne, 9 Ramadhan 1436 H
FAHD PAHDEPIE